Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Perjalanan Unik Hidup Seorang Santri dalam Kitab Tasrif

Peta Hidup Santri

Santri memiliki kaitan erat dengan figur kyai, guru, ataupun ustadz yang berperan sebagai pengajar sekaligus ‘orang tua wali’ yang mengayomi santri. Hubungan antara santri dan guru begitu erat sehingga tidak hanya memiliki hubungan sekedar transfer ilmu saja, melainkan juga hubungan kepribadian yang lebih mendalam. Ada pesan simbolis yang menarik dalam kitab Amtsilah at-Tashrîfiyyah (biasanya disebut kitab Tasrif) karangan KH. Ma’shum bin Ali Jombang. Kitab ini menjelaskan tentang ilmu sharaf (morfologi) yang menerangkan seputar contoh-contoh perubahan kata dalam bahasa Arab. Pada bab awal kitab ini dibahas tentang Fi’il Tsulâsi Mujarrod yang terbagi menjadi enam wazan, yaitu wazan (1) fa’ala-yaf’ulu, (2) fa’ala-yaf’ilu, (3) fa’ala-yaf’alu, (4) fa’ila-yaf’alu, (5) fa’ula-yaf’ulu, (6) fa’ila-yaf’ilu.
img nu.or.id
Dari enam bab tersebut ada enam contoh kata pertama di tiap bab yang jika dipahami akan muncul penafsiran unik. Khusus bab 6, ada dua contoh kata. Contoh kata yang dicantumkan dalam kitab tersebut adalah, (bab 1) ‘nashara’ (artinya: menolong), (bab 2) ‘dharaba’ (artinya: memukul), (bab 3) ‘fatakha’ (artinya: membuka), (bab 4) ‘alima (artinya: pandai), (bab 5) ‘hasuna’ (artinya: bagus atau baik), dan (bab 6) ada dua kata, yaitu ‘hasiba’ (artinya: merasa) dan ‘wamiqa’ (artinya: jatuh cinta).

Dari urutan contoh tiap bab sampai contoh kata terakhir di atas menunjukkan peta perjalanan hidup seorang santri dalam mencari ilmu. Seorang santri datang showan kepada guru atau kyai untuk dibantu agar diajari ilmu, maka sang kyai akan memberi bantuan (nashara: bab 1). Setelah santri menetap di pesantren, ujian dan cobaan muncul. Ujian yang sering muncul menyebabkan santri tidak fokus sehingga terhambat ngajinya. Biasanya muncul rasa malas mengaji, nakal, sering keluyuran, dan lain sebagainya. Karena malas mengaji dan sering keluyuran sehingga ngajinya tidak fokus, maka guru pun memukul (dharaba: bab 2) santri untuk mengingatkan bahwa tujuan utama ke pesantren adalah untuk mengaji. Memukul merupakan simbol peringatan dari kyai.

Setelah berkali-kali santri diingatkan, akhirya sang santri sadar bahwa dirinya sudah terlena akan kemalasan dan suka bolos ngaji. Allah Swt. pun membukakan (fatakha: bab 3) pintu kesadaran kepadanya berkat usaha dan doa kyai. Sang santri akhirnya berbenah diri, belajar, dan ngaji dengan serius sehingga Allah membukakan kepadanya pintu kepandaian (‘alima: bab 4). Ketekunan santri dalam mengaji dan keuletannya dalam menjalani hidup bersama kyai menjadikannya berubah menjadi orang alim lagi berakhlak mulia. Ia juga dipandang positif oleh kyai dan masyarakat sebagai seseorang yang berbudi luhur serta pewaris akhlak Nabi sehingga menjadi orang baik (hasuna: bab 5).

Perjalanan ‘nyantri’ telah sampai pada batas akhir. Sang santri pun sowan untuk kembali ke kampung asal dengan tujuan mengamalkan ilmu dan mengabdi di masyarakat. Setelah tinggal di rumah dan mendirikan pesantren, sang santri mengalami perasaan jatuh cinta (hasiba dan wamiqa: bab 6) kepada seorang gadis. Sehingga ia menikah untuk menjalin keluarga dan melengkapi separuh agamanya. Begitulah gambaran tersirat perjalanan santri dan hubungan dengan guru yang ada dalam kitab Amtsilah at-Tashrîfiyah.