Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pengalaman Menjadi Santri di Pesantren Lengkap, Nyantri di Pesantren dan Mondok di Pondok Pesantren


Pada kesempatan kali ini aku ingin bercerita bagaimana indah dan pahitnya mondok di pesantren. Namun sebenarnya sepahit-pahitnya mondok bagi sebagian besar santri rasanya pasti nikmat dan bakalan bikin kangen.


Mondok itu awalnya bisa jadi tidak kerasan dan hawanya pengen pulang saja. Meskipun tekad untuk mondok sudah tinggi, namun bisa jadi mondok tetap saja membuat kangen rumah dan orang tua.

Dulu aku waktu mondok pertamakali dan menjadi santri di sebuah pesantren di Jawa Timur, pada hari pertama rasanya ingin nangis tapi tak bisa menangis. 
Pengalaman Menjadi Santri di Pesantren: Img flickr.com
Ketemu teman-teman baru dan berkenalan dengan mereka bisa menjadi salah satu cara untuk menghilangan ingatan yang selalu membayangkan orang tua dan rumah atau kampung halaman.

Pengalaman Pertama Saat Nyantri Di Pesantren: Kangen Rumah

Sebenarnya apa aja sih yang bisa menyebabkan santri tidak betah di pesantren? Jawabannya banyak! Misalnya nih:

1. Karena Memang Kangen Rumah

Kalau lagi nyantri trus kangen rumah, orang tua, atau teman, atau apalah, pasti hawanya pengen pulang dan tidak kerasan. Biasa kalau santri yang baru mondok merasakan ini. Penulis pun juga mengalami pengalaman tidak kerasan ini. Ya inilah Pengalaman Pertamaku Mondok di Pesantren. Tapi Ya dijalani ajalah.

Tips mengatasinya ya, dibetah-betahin. Ingat tujuan dari rumah untuk menuntut ilmu dan meraih masa depan cerah.

2. Pondok Pesantren Tak Kondusif

Misalnya saja pondoknya kotor dan kumuh. Pondok pesantren kalau kumuh itu biasa, karena memang ditempati oleh banyak anak. Belum lagi kalau pak yai punya hewan peliharaan yang biasanya dijejerkan di kamar santri.

Pesantren kotor itu ujian, dimana kita sebagai santri tertantang untuk memiliki pengalaman sebagai sosok yang peduli kebersihan. Pondok pesantren itu tempat kita, maka kalau kotor ya kita harus membersihkan.

Namun kalau kumuhnya keterlaluan, bisa jadi ini menjadi faktor yang membuat kita sebagai santri tidak kerasan. Karena peraturan pesantren tidak jalan, bisa jadi anak-anak santri sembarangan dalam buang sampah. Kamar jadi bau dan lembab.

Bahkan pesantren bisa saja bangunannya tak sesuai standar karena ya memang namanya pesantren cara membangun bangunannya biasanya kalau sudah ada kas uang. Jadi terkadang bangunannya ada yang bagus ada juga yang semrawut.

Belum lagi kalau bangunan kamar disamping tempat pembuangan sampah, wah selain banyak nyamuk juga bau.

3. Santri yang nakal

Ini termasuk pengalaman yang membuat kehidupan di pesantren menjadi lebih berwarna pahit asam pedas manis. Ya, pas satu kamar dengan santri yang nakal. Terkadang santri yang nakal bukan satu dua, tapi berjamaah.

Nakalnya gimana? Bisa mencuri atau menggunakan barang tanpa izin, mengganggu saat tidur belajar, berkata kotor, menghina, bahkan mungkin ngajak berantem. Dulu aku juga pernah diajak berantem tapi tetap berani dong, sama-sama rumahnya jauh hehe.

Ya santri itu sering disalah artikan sebagai tempat untuk memperbaiki akhlak santri. Jadinya anak yang sudah nakal baru dipondokkan. Jadilah pesantren tempat berkumpulnya anak nakal. Jadi jangan kaget kalau ada kabar di pesantren ada pengguna narkoba atau peminum. Ya santri semaca itu dalam tahap proses perbaikan. Cuman salahnya orang tuanya saja, sudah terlanjur nakal baru dipondokkan. Kebanyakan kasusnya kayak gitu.

Pengalaman Kedua Menjadi Santri: Hidup Selalu Berbagi

Yang namanya pesantren, para santrinya bisa berjumlah puluhan, ratusan, bahkan ribuan. Jadi satu kamar yang sempit yang harusnya diisi oleh 4 santri bisa diisi oleh 10 santri, bahkan lebih. Dulu waktu aku nyantri, kakak santri pernah bercerita bahwa ada kamar yang hanya buat naruh baju, dan santri tidurnya di masjid atau dihalaman kamar.

Karena banyaknya santri ini pun maka aku sesama santri harus bisa hidup bersama dan selalu bisa berbagi. Makanya pas ada yang kiriman atau orang tua santri datang, maka yang senang bukan hanya si santri yang dikunjungi, tapi teman sekamar semua ikut senang. Kenapa? Karena jajannya untuk semua santri, harus rela berbagi.

Kalau tidak mau berbagi? Wah ada peraturan-peraturan tak tertulis. Bisa jadi pintu lemarinya dibobol dan jajan yang disimpan hilang semua diambil santri-santri lain. Makanya hidup di pesantren tidak cocok menjadi sosok yang pelit. Harus mau berbagi, atau kalau tidak ya bakalan diusilin sama santri lain. Ada istilah hukum rimba bagi yang pelit berbagi, sadis ya.

Dulu pas aku mondok ada anak orang kaya yang kalau kiriman jajannya melimpah. Namun dia seakan tidak mau berbagi. Mau berbagi sih tapi tidak semuanya. Ya namanya anak pondok yang makanananya seadanya, pasti kalau ada makanan enak kalau imannya tidak kuat pasti langsung sikat.

Ada kalanya sekelompok santri yang terdiri dari 3 atau 4 santri berkomitmen untuk melakukan kesepakatan dalam menyimpan dan memanfaatkan barang bersama. Mereka mengumpulkan uang, iuran dan membeli makanan untuk dimasak bersama sepanjang malam. Ada santri semacam ini. Mereka bisa jadi teman dekat atau tetangga pas di rumah. Atau bisa jadi teman sekelas.

Sering juga santri berbagi sabun, sampo, pasta gigi, bahkan bisa jadi sikat gigi terutama santri putra. Jorok ya? Di pesantren bisa jadi standar jorok itu beda hehe. Inilah Pengalaman Seru yang Hanya Akan Dialami Santri Pesantren Saat Mondok.

Pengalaman Ketiga Menjadi Santri: Hidup Bagaikan Para Ulama

Nah kalau ini pengalaman yang pasti didapat oleh santri, entah sedikit atau banyak. Yaitu santri pasti mengalami kehidupan bagaikan para ulama. E, memang santri calon ulama juga kan hehe.

Menjadi santri berarti menjadi sosok yang tolabul ilmi atau mencari ilmu. Itu artinya sang santri harus menghabiskan waktu di pesantren untuk menuntut ilmu. Makanya waktu yang dimiliki oleh santri kebanyakan pasti untuk belajar dan mengaji.

1. Belajar dan Belajar

Bayangkan saja, baru bangun subuh langsung shalat subuh dan diisi dengan mengaji. Tak hanya itu, kadang sebelum subuh santri sudah bangun untuk tahajjud dan belajar. Itulah santri, hidupnya dihabiskan untuk belajar ilmu agama dan pengetahuan.

Lalu jam 7 harus berangkat ke sekolah. Di sekolah belajar lagi berbagai pelajaran bersama para guru dan ustadz.

Sekolah biasanya sampai setengah satu atau jam satu. Lalu jamaah shalat dhuhur dan dilanjutkan dengan mengaji lagi. Istirahat sebentar bisa untuk makan, jajan, atau cuci baju dan tidur. Jam 4 shalat berjamaah dan mengaji lagi hingga jam 5.

Selesai jam lima istirahat hingga jam 6. Shalat maghrib dan mengaji lagi sampai jam setengah 8. Lalu shalat isya dan mengaji lagi hingga jam 9. Setelah mengaji lalu belajar hingga jam 10 atau hingga jam 11. Luar biasa kan. 

2. Menghafal Kitab

Ini nih pengalaman yang cukup menantang selama di pesantren. Seorang santri harus mengikuti pelajaran dimana beberapa di antaranya diwajibkan untuk menghafal kitab. Kitab yang dihafal bisa berupa lafaz berparagraf juga bisa jadi kitab berupa syair atau disebut dengan nadzham. 

Biasanya kitab yang dihafal ini adalah kitab nahwu sharaf atau kitab untuk belajar bahasa Arab. Menyenangkan akhirnya tapi susah di awal, karena kita diwajibkan untuk menghafal. 

Bagi sebagian santri bisa jadi menghafal di pesantren adalah hal mudah, namun bisa jadi sangat sulit. Tak pelak beberapa santri dihukum karena tidak hafal.

Juga pada hari-hari tertentu ada kegiatan setoran hafalan. Ya, kami menyetorkan hafalan kepada ustaz atau pak yai. Kalau ke ustaz nanti bakalan dicatat hafalannya sampai berapa. Kalau kurang dari target bisa dihukum atau didenda dan dilaporkan kepada pengasuh. Biasanya hukumannya adalah disuruh berdiri. Ya mendapatkan ta'zir atau hukuman di pondok. Kalau ingat santri-santri mendapatkan hukuman rasanya jadi kangen pondok hehehe.

Jadi di pesantren sudah biasa kalau ada santri yang dimana-mana bawa kitab kecil menghafalkan bait-bait syair. Bukan soal rajin, tapi bisa jadi takut dihukum kwkwkwkww. Ada yang di sawah, pojok kamar, lapangan, warung dan beragam tempat pokoknya.

3. Membaca Kitab Kuning

Santri harus bisa membaca kitab kuning karena sumber ilmu itu dari kitab itu sendiri. Makanya santri harus belajar ilmu alat, berupa ilmu tatabahasa Arab. 

Santri digembleng di pesantren untuk bisa membaca kitab kuning ini. Makanya selain ada kegiatan mempelajari ilmu membaca kitab kuning, santri juga harus praktek membaca kitab kuning itu sendiri.

Saat guru membacakan makna di kitab kuning, santri menulis maknanya dengan huruf pegon, yaitu makna bahasa jawa atau Indonesia yang diselipkan di bawah tulisan Arabnya.

Setelah menulis makna ini, ustaz biasa menyuruh santri untuk berdiri dan membacakan apa yang didektekan oleh ustaz tadi. Ya, santri mengulang bacaan dari makna kitab. Harakatnya tidak boleh salah. Tempat berhenti membacanya harus benar. Juga tentu maknanya harus sesuai dengan apa yang dibacakan oleh ustaz.

Maaf tulisan belum selesai, kang santri sibuk ngaji heheeh

Pengalaman Ketemu Santri Rajin Super Cerdas

Pengalaman Ketemu Santri Super Nakal Pool

Santri Ahli Ibadah

Santri Pemburu Berkah, Pengalaman Unik

Pengalaman Keempat Menjadi Santri: Disiplin Super Ketat

Pengalaman Memperoleh Nikmat Yang Luar biasa Saat Nyantri

Pengalaman Soal Cinta saat Menjadi Santri

Pengalaman Kelam saat Menjadi Santri

Kesimpulan Pengalaman Menjadi Santri Di Pondok Pesantren