Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Biografi KH. Fu’ad Affandi dan Prinsip Suksesnya

Sang Penggagas Tarekat ‘Sayuriyah’ . “Sikap toleran, moderat, dan penuh semangat menggelorakan kerja keras dan belajar adalah sebuah pesona indah, seindah mutiara Djambek yang telah memberikan kontribusi perubahan di Tanah Minang. Islam adalah agama amal, Kyai Fuad telah banyak mengamalkan nilai Islam tersebut. Itulah amal saleh yang sejati, yang meliputi semua perbuatan yang dicintai Allah, fisikal maupun spiritual, material, dan immaterial.” Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, MA. 
Selain dikenal dengan sikapnya yang ramah tamah dan suka tersenyum, KH. Fuad Affandi dikenal sebagai kyai yang kaya dengan beragam karya. Segudang prestasi membuat beliau mendapatkan beragam karya seperti, penghargaan Good Agriculture Practices (GAP) dari Menteri Pertanian 2004-2009 Ir. Anton Apriyantono. Beliau juga banyak memperoleh penghargaan di zaman pemerintahan Soeharto seperti penghargaan Tut Wuri Handayani Award. Pada era presiden Habibie KH. Fuad dianugerahi Setya Lencana Wirakarya dan di zaman Presiden Megawati berkuasa, KH. Fuad menerima Kalpataru. Beliau juga menerima penghargaan Parama Bhoga Nugraha Hari Pangan Sedunia XIX dan Hari Wanita Pedesaan Sedunia IV Menteri Negara Pangan dan Hortikultura Prof. Dr F.A Moloek pada tahun 1999 dan beragam penghargaan lainnya.
img penayasin.com

Profil KH. Fuad Affandi

Pengasuh Pondok Pesantren Al-Ittifaq yang terletak di kampung Ciburial, Desa Alamendah, Kecamatan Rancabali, Bandung, yaitu Fuad Affandi ini lahir pada tahun 20 Juni 1948. KH. Fuad termasuk cucu dari KH,. Manshur, pendiri pesantren Al-Ittifaq sehingga beliau dididik dan dibesarkan sebagai bagian dari keluarga pesantren.

Semasa muda beliau banyak berkelana ke berbagai pesantren untuk mencari ilmu. Riwayat pendidikan yang ditempuhnya antara lain adalah Sekolah Rakyat yang dijalani sampai kelas 4. Setelah itu Fuad muda memutuskan untuk nyantri di Sukasari Bandung, Sumedang, Banjarpatroman Ciamis, dan Al-Hidayah Lasem. Konon belau juga sering ngaji di Pesantren Sarang Rembang kemudian berpindah lagi untuk nyantri ke Pesantren Sunan Drajat Lamongan. Beliau juga sempat berkelana di beberapa pondok-pesantren di Jawa Timur lainnya untuk thalabul ilmi antara tahun 1957 sampai 1966.

Merevolusi Masyarakat

Konon dahulu kala, pendiri sekaligus pengasuh Pesantren Al Ittifaq pertamakali yaitu KH. Mansur (kakek KH. Affandi) memiliki sikap yang dapat dibilang kolot dan ortodok. Saat itu, banyak sekali larangan yang harus dipatuhi oleh masyarakat yang intinya kontras dengan model hidup orang Belanda. Berhubungan dengan pejabat pemerintah termasuk haram, begitu juga masuk sekolah formal, membuat rumah menggunakan tembok, dan penggunaan radio. Sifat kolot inilah yang membuat daerah tersebut sulit untuk diajak maju.

Sifat kolot tersebut kuat mengakar di dalam masyarakat sehingga KH. Fuad Affandi pun menuai banyak rintangan ketika berusaha merubah paradigma dan kebiasaan kolot yang ada di masyarakat itu. Namun perlahan tapi pasti, beliau selalu berusaha sedikit demi sedikit merubah aturan lama menjadi kemajuan pesat bagi Pesantren Al-Ittifaq dan masyarakat sekitar.

Berjualan Sepatu Di Sumatera

Di masa awal saat merintis perkebunan, KH. Fuad mengalami kesulitan yang berat. Selain tidak punya uang, sang ayah yang sebenarnya memiliki tanah yang cukup luas juga sulit dipinjam tanahnya. Kondisi ini membuat beliau memutuskan pergi ke Sumatera untuk berdagang sepatu. Selama tiga tahun ia menawarkan sepatu ke setiap toko yang dijumpainya mulai dari Jambi sampai Medan hingga akhirnya dengan hasil usahanya itu, beliau bisa membeli enam hektar tanah yang kemudian ditanami tomat dan kubis secara bertahap. Setiap panen, beliau menjual hasilnya ke Pasar Ciwidey.

Seiring dengan berjalannya waktu yang diwarnai dengan perjuangan berat, akhirnya KH. Fuad bisa memasok beragam sayuran ke supermarket Hero. Kemudian jangkauan diperluas ke berbagai pasar swalayan seperti Makro, Matahari, Giant, Yogya, dan Superindo. Pasar-pasar itu menerima beragam jenis produksi sayur seperti kol, buncis, dan berbagai jenis sayuran lainnya. Menurut beliau, tidak ada tanah yang sesubur Indonesia, tetapi juga tak ada orang yang malas semalas orang Indonesia.

Prinsip Sukses Ala Mang Fuad

KH. Fuad Affandi memiliki prinsip-prinsip tersendiri untuk menggapai kesuksesan seperti sekarang ini. Berikut ini penulis uraikan prinsip-prinsip besar yang selalu dipegang teguh oleh KH. Fuad Affandi:

Shalat Awal Waktu Jama’ah Di Masjid

Di pesantren Al-Ittifaq, seluruh keluarga besar pesantren diwajibkan untuk memegang empat prinsip dasar yaitu ‘shalat’, ‘awal waktu’, ‘berjamaah’, ‘di Masjid’ yang disatukan menjadi ‘shalat awal waktu berjamaah di masjid’. Bila tidak bisa berjamaah awal waktu di masjid, maka diusahakan berjamaah awal waktu dimana saja selagi sempat. Jika tidak bisa shalat awal waktu, maka segera mungkin untuk melaksanakan shalat secepatnya.

Prinsip ini menunjukkan bahwa kita adalah hamba yang benar-benar butuh kepada rahmat Allah Swt. sehingga jika seorang hamba cepat mendatangi panggilan Allah, maka itu menunjukkan bahwa ia adalah orang yang benar-benar butuh kepada-Nya. Tetapi jika shalatnya dilakukan dengan seenaknya maka itu menununjukkan bahwa ia tidak butuh rahmat Allah Swt., padahal hanya kepada Allah lah seorang hamba harus meminta.

Kerja Untuk Mengaji Bukan Mengaji Untuk Kerja

Bekerja adalah kebutuhan setiap manusia untuk bertahan hidup. Manusia tidak terlepas dari prinsip ekonomi bahwa jika mau mendapat materi maka dia harus bekerja. Begitu juga dengan Pesantren Al-Ittifaq yang di asuh oleh KH. Fuad Affandi. Keseharian santri diisi kegiatan enterpreneur dalam berbagai bidang baik perkebunan maupun peternakan. Tetapi tujuan bekerja bagi santri adalah supaya mendapatkan bekal untuk ngaji. Istilahnya, “Kerja untuk mengaji, bukan mengaji untuk kerja”.

Tidak Ada Waktu Yang Terbuang Percuma

Di Pesantren Al-Ittifaq tidak boleh ada sedikitpun waktu yang terbuang percuma. Seluruh waktu yang ada harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Waktu mengaji semua harus mengaji, waktu kerja, semua harus bekerja, waktu istirahat, maka harus digunakan untuk istirahat.

Tidak Ada Tanah Sejengkal pun Yang Nganggur

Prinsip ini berupaya untuk mengoptimalkan potensi tanah yang ada di pesantren dan sekitarnya. Tidak boleh ada tanah pun yang nganggur tanpa dimanfaatkan walaupun berukuran sejengkal. Hal ini terbukti dari pemandangan yang ada di kawasan pesantren, mulai jalan masuk sampai menuju pesantren semua lahan tanah pasti ada tanaman produktif. Bahkan prinsip ini juga berpengaruh pada masyarakat sekitar pondok pesantren. Lahan depan rumah warga yang biasanya di daerah lain hanya dikosongkan untuk pelataran, di lingkungan rumah-rumah warga sekitar pesantren penuh dengan berbagai macam sayur dan buah seperti stroberi dan sayuran lainnya.

Tidak Ada Sampah Terbuang Percuma

KH. Fuad berpegang teguh terhadap firman Allah ,“Rabbana mâ khalaqta hâdza bâtila”, artinya “Ya Allah tidak ada sedikit pun yang Engkau ciptakan itu sia-sia”. Maknanya adalah tidak ada suatu ciptaan Allah yang tidak berguna. Allah  menciptakan sampah sekalipun pasti ada faedahnya.
Hal inilah yang membuat beliau berhasil menjadikan sampah pembalut wanita menjadi keset. Bahkan untuk memasak bagi seluruh santri, bahan bakar yang digunakan tidak menggunakan minyak atau gas sebagaimana layaknya masyarakat di daerah lain. Mereka memanfaatkan biogas yang berasal dari pembusukan kotoran sapi. Gas yang dihasilkan dari kotoran itu lalu disalurkan ke dapur para santri melalui pipa.
Pemanfaatan sampah juga dilakukan pada hasil kebun dengan melakukan proses grading atau klasifikasi berdasarkan kualitas. Kualitas terbaik dari hasil kebuh berupa buah maupun sayur dimasukkan dalam kategori grade 1 yang kemudian untuk dikirim ke super market. Grade 2 dibuat sayur olahan. Grade 3 dibarter untuk ditukar dengan produk yang tidak diproduksi di Pesantren Al-Ittifaq. Grade 4 untuk dikonsumsi kalangan sendiri atau para santri. Dan Grade 5 untuk pakan ternak seperti sapi. Sisa-sisa pakan ternak kemudian dijadikan pupuk untuk kebun.

Bekerja Sesuai Kompetensi 

Walaupun santri-santri diwajibkan untuk bekerja, tetapi ada klasifikasi-klasifikasi tersendiri untuk menentukan pekerjaan mereka. Klasifikasi atau pengelompokan kerja santri ini disesuaikan dengan tingkat pendidikan. Bagi yang lulusan Sekolah Menengah Atas atau sederajat, maka akan diberi tugas sebagai manager atau pengelola baik dalam bidang perkebunan maupun peternakan. Bagi yang lulusan SMP atau yang sederajat, maka sebagai pekerja di bawah pengelola. Tetapi jika lulusan SD atau bahkan tidak punya pengalaman dalam jenjang pendidikan, maka jenis pekerjaanya adalah lebih berorientasi pada pekerjaan fisik seperti bagian memanen dan membawa barang ke pesantren untuk dilakukan packing atau pekerjaan yang fisik lainnya.[]

“Apa yang dilakukan KH. Fuad Affandi patut diteladani dan dicontoh oleh pesantren yang terletak di daerah yang memungkinkan untuk kegiatan agribisnis. Semoga lebih banyak lagi pusat pendidikan bernuansa agama yang melakukan kegiatan sejenis. Namun saya berpendapat bahwa berdasarkan catatan historis-komparatif dengan beberapa negara lain, kemajuan pembangunan pertanian (termasuk agribisnis) hanya akan maju dan berkesinambungan bila diawali atau disertai dengan landreform. Tanpa landreform yang diuntungkan hanya elit desa atau elit kota. Gerakan KH. Fuad Affandi kiranya merupakan tahap awal perbaikan kehidupan ekonomi masyarakat berbasis agribisnis. Tahap berikut, seyogyanya dilakukan pembagian tanah bagi santri-petani agar mereka dapat mengolah tanah sendiri. Maka pelaksanaan landreform oleh pemerintah merupakan keniscayaan.”
Dr. Asvi Warman Adam