Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hukum transfusi Darah Dalam Islam

Tranfusi Darah Dalam Islam

Transfusi darah adalah proses pemindahan darah atau komponen darah dari satu orang (pendonor) ke dalam aliran darah orang lain (penerima) untuk beragam tujuan tertentu.

Transfusi darah dapat dilakukan sebagai langkah penyelamatan nyawa untuk menggantikan sel darah atau produk darah yang hilang melalui pendarahan atau karena depresi pada sumsum tulang.

Dalam hal ini tentu saja bisa muncul permasalahan sebab darah sendiri dalam agama Islam itu dihukumi sebagai najis.

Lalu bagaimana hukum tranfusi darah dalam Islam itu sendiri? Kali ini kita akan mengulas hukum tranfusi darah dalam Islam.

Hukum transfusi darah Dalam Islam

Menurut Syaikh Muhammad ibn Ibraaheem Aal al-Syaikh (semoga Allah merahmatinya) pernah ditanya tentang hukum tranfusi darah dalam Islam, dan beliau pun menjawab pertanyaan tersebut sebagai berikut:

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu membahas tiga hal:

1. Siapakah orang yang akan menerima transfusi darah?

2. Dari siapa darah itu akan diambil?

3. Siapakah orang yang dapat kita percayai untuk memutuskan apakah transfusi darah diperlukan?

Sehubungan dengan pertanyaan pertama, orang yang akan menerima transfusi darah adalah orang yang hidupnya dalam bahaya karena sakit atau cedera, dan yang hidupnya bergantung pada penerimaan transfusi darah.

Prinsip dalam hal ini didasarkan pada beberapa ayat Al-Qur’an berikut:

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ ٱلْمَيْتَةَ وَٱلدَّمَ وَلَحْمَ ٱلْخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ بِهِۦ لِغَيْرِ ٱللَّهِ ۖ فَمَنِ ٱضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَآ إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs. al-Baqarah 173).

فَمَنِ ٱضْطُرَّ فِى مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ ۙ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

…..Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Quran Surat Al-Ma’idah Ayat 3)

وَمَا لَكُمْ أَلَّا تَأْكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ ۗ

Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.  (QS. al-An’aam 6: 119)

Bukti dan petunjuk yang diperoleh dari ayat ini memberitahu kita bahwa jika kesembuhan orang yang sakit atau terluka bergantung pada transfusi darah yang dia butuhkan untuk menyelamatkan hidupnya, dan bahwa tidak ada obat atau makanan lain yang dapat melakukan hal yang sama, maka seseorang tersebut diizinkan untuk menerima transfusi darah.

Faktanya, ini termasuk dalam kategori makanan, bukan obat (menggunakan bahan makanan terlarang jika diperlukan, diperbolehkan, seperti dalam kasus orang yang kelaparan yang makan bangkai).

Sehubungan dengan poin kedua, terkait orang yang diambil darahnya. Dalam hal ini pengambilan darah tidak boleh mengakibatkan bahaya yang serius pada pendonor.

Karena Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Tidak boleh ada yang menyakiti atau membalas kerugian.”

Mengenai poin ketiga, yakni soal pendapat siapa yang harus dijadikan sandaran untuk memutuskan perlu atau tidaknya transfusi darah, maka ia adalah seorang dokter muslim.

Jika itu tidak memungkinkan, kami melihat tidak ada salahnya jika harus berpegang pada ucapan dokter non-Muslim, apakah dia Yahudi atau Kristen (atau agama lain), selama dia berpengalaman dalam pengobatan dan dapat dipercaya.

Adapun dalil tentang bolehnya mengambil pendapat non-Muslim adalah hadits shahih yang menggambarkan bagaimana Nabi Muhammad Saw. mempekerjakan seorang pria Bani Dil sebagai pemandu yang terampil dan berpengalaman, meskipun dia adalah penganut agama pagan Quraisy. Bisa dilihat dalam hadis HR al-Bukhari no 2104.

Selain itu, ada juga fatwa dari Hay’at Kibaar al-‘Ulamaa ‘(Majelis Ulama Senior) menyatakan tentang Hukum transfusi Darah Dalam Islam sebagai berikut:

1. Diijinkan mendonorkan darah, selama tidak membahayakan dirinya, bila diperlukan untuk membantu umat Islam lainnya.

2. Diijinkan mendirikan bank darah Islam untuk menerima dan menyimpan darah yang disumbangkan, untuk disimpan bagi setiap Muslim yang mungkin membutuhkannya, selama tidak ada uang yang dibebankan kepada orang yang sakit atau orang yang bertanggung jawab atas urusannya sebagai imbalan atas layanan ini. Bank darah tidak boleh didirikan sebagai perusahaan komersial atau alat menghasilkan uang, karena itu untuk kepentingan umum umat Islam.