Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Apakah Imam Syafii keturunan Nabi Muhammad?

Apakah Imam Syafii keturunan Nabi Muhammad? Imam Syafii adalah seorang ulama besar yang dikenal sebagai pendiri madzhab fikih Syafii. Madzhab Syafii termasuk madzhab yang diikuti oleh mayoritas umat Islam di Indonesia, terutama di Indonesia.

Ada beberapa pertanyaan terkait dengan Imam Syafii ini, seperti siapakah Imam Syafii, dan apakah Imam Syafii keturunan Nabi? Kali ini dalamislam.info akan menjelaskannya secara lebih rinci.

Siapakah Imam Syafii itu?

Imam Syafii adalah seorang pendiri mazhab fıkıh Syafii. Beliau dikenal sebagai salah satu ulama Islam yang alim luar biasa. Imam Syafii memiliki para murid yang menjadi ulama terkenal seperti Ahmad bin Hanbal, Ishak bin Rahawaih, az-Za’farani, Abu Saur Ibrahim bin Halid, Abu Ibrahim Müzani dan Rabi’ bin Sülayman Muradi.

Imam Syafii juga dikenal sebagai bapak ushul fikih karena karya yang beliau karang berjudul ar-Risalah yang membahas tentang ilmu ushul fikih.

Apakah Imam Syafii keturunan Nabi Muhammad Saw?

Jika ada pertanyaa Apakah Imam Syafii keturunan Nabi Muhammad? Maka jawabannya adalah tidak. Imam Syafii bukan keturunan Nabi Muhammad Saw.

Nasab imam Syafii bertemu dengan nasab Rasulullah pada Abdu Manaf. Dengan demikian, imam Syafii berasal dari suku Quraisy dan bertemu nasapnya dengan Rasulullah Saw. meski imam Syafiia bukan keturunan Nabi Muhammad Saw.

Biografi Imam Syafii

Nama aslinya adalah Muhammad bin Idris bin Abbas. Kakeknya, Syafii, dikenal dengan nama ini karena dia adalah anggota suku Quraisy dan seorang sahabat. Syafii lahir di Gaza pada tahun 767.

Tak lama setelah kelahirannya, ayahnya meninggal dunia. Ibunya membawa Syafi’i pada usia dua tahun ke kota asal mereka, Mekah, dan membawanya ke sini.

Imam Syafii hafal Al-Qur’an pada usia 7 tahun. Sejak usia dini, ia menghadiri kuliah dan percakapan para ulama terkenal. Dalam hal ini Imam Syafii mengatakan:

“Setelah menghafal Al-Qur’an, saya pergi ke Masjid al-Haram dan mendapat banyak manfaat dari para ulama fiqh dan hadits. Tapi kami sangat miskin, kami bahkan tidak mampu membeli selembar kertas. Saya menarik banyak kesulitan untuk menulis pelajaran saya dan saya belajar materi.”

Imam Syafii kemudian pergi ke suku Huzail untuk mempelajari seluk-beluk bahasa Arab dan sastranya. Dia mengatakan yang berikut tentang ini:

“Saya meninggalkan Mekah. Saya belajar kehidupan dan bahasa suku Huzail di padang pasir. Suku ini adalah yang paling produktif dari orang Arab dalam hal bahasa. Saya bepergian bersama mereka, berkeliaran, belajar cara menembakkan panah. Ketika saya kembali ke Mekah, saya telah memperoleh banyak narasi dan pengetahuan sastra.

Syafii yang mengabdikan hidupnya untuk belajar sains, mengambil pelajaran dari ulama Islam terkenal seperti Sufyan bin Uyaynah dan Muslim bin Khalid az-Zanci. Dia berusia 20-an ketika dia datang ke Imam Malik. Imam Malik membawanya di bawah perlindungannya dan mengajar hadits selama 9 tahun.

Ketika dia kembali ke Mekah, dia dibawa ke Yaman oleh gubernur Yaman, yang datang ke sini, dan diangkat sebagai hakim. Setelah melakukan pekerjaan ini selama 5 tahun, ia pergi ke Bagdad dan mulai mengambil pelajaran dari Imam Muhammad, murid Abu Hanifah. Imam-i Muhammad, yang juga ayah tirinya, mengajarkan ilmu fiqih dan riwayat kepada Syafi’i dengan membacakan buku-bukunya.

Imam Syafii kembali ke Mekkah, di mana ia melakukan penelitian untuk sementara waktu dan memberikan ceramah kepada murid-muridnya. Apalagi saat musim haji, para ulama dari berbagai negara Islam akan mengambil pelajaran darinya.

Tempat tinggal di Mekah ini berlangsung selama 9 tahun. Dia kemudian kembali ke Bagdad lagi. Selama periode ini, Baghdad adalah pusat ilmiah penting dunia Islam. Para ulama di sini mengambil pelajaran dari Imam-i Syafii.

Metode yang ia gunakan untuk memberikan ceramah dan fatwa adalah ilmu istinbat (mengacu penilaian dari sumber), ilmu fiqih.

Ketika Imam-i Syafii berada di Bagdad , ia menulis karyanya yang berjudul “al-Kitab-ul Baghdadiyya” . Belakangan, karena gejolak politik dan intelektual di Baghdad, ia pergi ke Mesir dan tinggal di sini sampai akhir hayatnya.

Syafi’i menunjukkan cara bagi umat Islam untuk mengikuti ibadah dan pekerjaan mereka. Hukum-hukum yang ia tarik dari dalil-dalil syar’i menurut caranya sendiri, yaitu jalan yang ia tunjukkan ini disebut Madzhab Syafi’i. Di antara umat Islam yang menganut akidah Ahl as-Sunnah, mereka yang melakukan perbuatannya, yaitu beribadah dan bekerja, sesuai dengan aturan mazhab ini disebut Syafi’i.

Imam-i Syafi’i meninggal di Kairo pada 19 Januari 820 dalam usia 54 tahun. Jenazahnya dimakamkan di makam Banu Abdulhakim di kaki gunung al-Mukattam. Al-Malik Al-Kamil, salah satu sultan Ayyubiyah, memiliki makam berkubah yang dibangun di atas makamnya pada tahun 1211. Sebuah madrasah besar dibangun di sebelah makam oleh Solahuddin.

Itulah informasi tentang Apakah Imam Syafii keturunan Nabi Muhammad? Semoga bermanfaat.