Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pengertian Qiraat al-Quran dan Pembagiannya

Pasti para pembaca tidak asing mendengar kata Qiraat al-Quran. Beberapa orang mungkin mendefisinisikan qiraat al-Quran sebagai seni membaca al-Quran dengan lagu dan suara yang merdu.

Namun dalam terminologi ulumul Quran, pengertian Qiraat al-Quran bukanlah seni membaca al-Quran atau tilawah al-Quran.

Namun istilah Qiraat al-Quran berarti bacaan-bacaan al-Quran. Berikut ini merupakan ulasan mengenai pengertian dan definisi Qiraat al-Quran berikut rincian pembagiannya.

Pengertian Qiraat al-Quran

Adapun istilah qira’at diambil dari bahasa Arab berupa kata قراءات , yaitu bentuk jamak (plural) dari kata قراءاة.

Adapun secara etimologi, kata قراءاة itu sendiri merupakan akar kata atau bentuk masdar dari kata قرأ yang berarti membaca. Bisa disimpulkan bahwa kata قراءات  secara bahasa memiliki arti “beberapa pembacaan”.

Adapun pengertian terminologi, secara istilah kata qira’at adalah salah satu mazhab pembacaan Qur’an yang dipilih oleh salah seorang imam qurra’ sebagai suatu aliran yang berbeda dengan mazhab atau aliran bacaan al-Quran yang lain.

Definisi lain menyebutkan bahwa Qirat al-Quran adalah:
العلم بكيفية أداء القرآن من حيث نطق الألفاظ أو اختلاف تركيبها، بحيث تكون القراءة موافقة لما ثبت نقله عن القراء الأوائل الذين اشتهروا بحفظ القرآن وضبطه.
Ilmu yang mempelajari tentang tatacara penyampaian al-Quran baik dalam segi pengucapan lafadz-lafadz atau perbedaan susunanya sehingga ilmu Qiraat ini sesuai dengan apa yang dinukil dari para Qura (ahli baca al-Quran) dari golongan awal, yaitu orang-orang yang dikenal dengan hafalan al-Quran dan penjagaan al-Quran.
Definisi lain dalam lingkup lajian Ilmu Tafsir juga disebutkan, bahwa qira’at al-Quran adalah:
“Suatu aliran atau madzhab dalam melafalkan atau membaca Al-Qur’an yang dipelopori oleh salah satu imam qira’at yang berbeda dari pembacaan imam-imam yang lain. Perbedan itu bisa berupa dari segi pengucapan huruf-huruf, atau keadaan huruf-huruf itu, tapi periwayatan qira’at tersebut darinya serta jalur yang dilaluinya telah disepakati (kesahihannya)”.
Muhammad Abdul Baqi Az-Zarqani, seorang Alim dan pakar Ilmu al-Quran asal Mesir mendefinisikan qira’at al-Quran, bahwasanya Qiraat al-Quran adalah:
Mazhab yang dianut oleh seorang imam Qira’at yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan Al-Qur’an serta kesepakatan riwayat-riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf-huruf ataupun bentuk-bentuk lainnya.
Adapun menurut pendapat Ibn al-Jazari, disebutkan bahwa qira’at al-Quran adalah ialah Ilmu yang menyangkut cara-cara mengucapkan kata-kata Al-Qur’an dan perbedaan-perbedaannya dengan cara menyandarkannya atau menisbatkannya kepada penukilnya.

Syaikh Abdul Fath al-Qadhy menjelaskan bahwa qira’at adalah ilmu tentang tatacara pengucapan kalimat-kalimat (ayat-ayat) Qur’aniyah.

Sedangkan menurut al-Qasthalani ialah Suatu ilmu yang mempelajari hal-hal yang disepakati atau diperselisihkan ulama yang menyangkut persoalan lughat, hadzaf, I’rab, itsbat, fashl, dan washl yang kesemuanya diperoleh secara periwayatan.

Menurut az-Zarkasyi, Qira’at adalah perbedaan cara mengucapkan lafaz-lafaz Al-Qur’an, baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfif (meringankan), tatsqil (memberatkan), dan atau yang lainnya.

Sedangkan Ibnu al-Jazari menjelaskan bahwa  Qira’at adalah pengetahuan tentang cara-cara melafalkan kalimat-kalimat Al-Qur’an dan perbedaannya dengan membangsakaanya kepada penukilnya.

Meskipun definisi tentang pengertian Qiraat al-Quran sebagaimana di atas berbeda-beda, namun perbedaan itu bukanlah perbedaan yang bertentangan, namun saling melengkapi juga dalam satu pendapat yang sama.

Yaitu semua pendapat di atas hendak menjelaskan bahwa ada beberapa cara melafalkan atau cara membaca Al-Qur’an walaupun sama-sama berasal dari satu sumber, yaitu Nabi Muhammad Saw.

Secara lebih ringkas, dari penjelasan-penjelasan mengenai beragam definisi Qiraat al-Quran sebagaimana disebutkan di atas, ada tiga aspek qira’at yang dapat ditangkap dari definisi tersebut:

1) Qira’at al-Quran adalah hal yang berkaitan dengan cara pelafalan ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan oleh seorang imam dan berbeda cara yang dilakukan imam-imam lainnya.

2) Cara pelafalan ayat-ayat Al-Qur’an itu pasti didasarkan atas riwayat yang bersambung kepada Nabi Nabi.

Dengan demikian, Qiraat al-Quran itu bukan berasal dari ijtihad para ulama atau siapapun.

Qiraat itu merupakan sesuatu yang apa adanya diambil dari Nabi sehingga bersifat tauqifi, bukan ijtihadi.

Ibn al-Jaziri menegaskan bahwa qira’at ialah ilmu cara melafalkan kalimat (kata-kata) Al-Qur’an dan perbedaannya, dan tidak menyatakan qira’at sebagai suatu aliran dan tidak pula menegaskan perlu adanya kesepakatan dalam periwayatan dalam sanad yang dilaluinya.

Kenapa Bacaan al-Quran Bisa Berbeda?

Perlu kita pahami bahwa adanya perbedaan bacaan al-Quran atau Qiraat al-Quran itu sebenarnya bersumber dari bacaan Nabi Muhammad Saw. itu sendiri.

Dalam hadis disebutkan:

هذا القرأن أٌنزل على سبعة أحرف
Al-Quran ini diturunkan dalam tujuh huruf
Beberapa ulama memahami bahwa makna tujuh huruf itu berarti tujuh model bacaan.

Jadi ilmu qira’at itu sendiri telah diperkenalkan oleh Nabi Muhammad kepada para sahabat, dimana nabi membacakan beberapa cara baca kepada sahabat secara berbeda-beda.

Berikut ini adalah beberapa pendapat para ulama tentang adanya perbedaan dalam Qiraat al-Quran:

1. Berbedanya Qiraat Nabi

Sebagian ulama berpendapat bahwa adanya perbedaan Qira’at al-Qur’an disebabkan karena perbedaan qira’at Nabi Saw sendiri.

Jadi ketika Nabi menyampaikan dan mengajarkan al-Qur’an, beliau membacakannya kepada para sahabat debgab berbagai versi qira’at atau bacaan.

Contoh misalnya, Nabi pernah membaca ayat 76 surat ar-Rahman dengan qira’at yang berbeda. Ayat tersebut berbunyi:
مُتَّكِئِيْنَ عَلَى رَفْرَفٍ خُضْرٍ وَ عَبْقَرِيٍّ حِسَاٍن
Nabi pernah membaca kata ( رَفْرَفٍ ) dengan lafadz ( رَفَارَفٍ ). Juga pada kata ( عَبْقَرِيٍّ ) beliau pernah membacanya dengan ( عَبَاقَرِيٍّ ), sehingga menjadi:
مُتَّكِئِيْنَ عَلَى رَفَارَفٍ خُضْرٍ وَعَبَاقَرِيٍّ حِسَانٍ

2. Ketetapan Nabi

Pendapat lain mengatakan bahwa adanya perbedaan pendapat itu disebabkan adanya taqrir atau ketetapan Nabi terhadap berbagai qira’at yang berlaku dikalangan kaum muslimin yang terjadi pada saat itu.

Contohnya misalnya pada kata ( حَتَّى حِيْنَ ) dibaca dengan ( حَتَّى عِيْنَ ), atau ( تَعْلَمْ ) dibaca ( تِعْلَمْ ).

3. Perbedaan Qiraat Oleh Allah

Suatu pendapat mengatakan, perbedaan qira’at disebabkan karena perbedaannya qira’at yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi melalui perantaraan Malaikat jibril.

4. Qiraat Karena Riwayat Sahabat

Jumhur ulama ahli qira’at berpendapat perbedaan qira’at disebabkan adanya riwayat para sahabat Nabi SAW menyangkut berbagai versi qira’at yang ada.

5. Perbedaan Dialek

Sebagian ulama berpendapat, perbedaan qira’at disebabkan adanya perbedaan dialek bahasa di kalangan bangsa Arab pada masa turunnya al-Qur’an.

6. Hasil Ijtihad

Perbedaan qira’at merupakan hasil ijtihad atau hasil pemikiran dari imam qira’at.

Bayhaqi menjelaskan bahwa mengikuti orang-orang sebelum kita dalam hal-hal qira’at merupakan sunnah, tidak boleh menyalahi mushaf dan tidak pula menyalahi qira’at yang masyhur meskipun tidak berlaku dalam bahasa arab.

Pembagian Tingkatan Qira’at

Kita tahu bahwasanya perbedaan qira’at al-Quran bukanlah merupakan hasil ijtihad atau pemikiran para ulama.

Hal ini karena Qiraat itu bersumber dari Nabi Saw. sendiri sebagaimana menjadi kesepakatan para ulama.

Meskipun demikian, ada juga Qiraat yang secara riwayat sulit dibuktikan bahwa bacaan itu berasal dari nabi.

Oleh karenanya, untuk membedakan mana qira’at yang berasal dari Nabi Saw. dan mana yang bukan, para ulama membuat pedoman atau persyaratan tertentu untuk menyaring Qiraat yang ada.

Dalam penyaringan itu, ada 3 syarat utama bagi sebuah qira’at al-Qur’an agar bisa disebut sebagai qira’at shahih atau qiraat yang benar.

Ketiga syarat itu, sebagaimana disebutkan oleh Mannaul Qattan adalah:

1. صحة السند , bacaan Qiraat harus memiliki sanad yang shahih.

2. مطابقة الرسم , bacaan Qiraat harus sesuai dengan rasm mushaf salah satu mushaf Utsmani.

3. موافقة العربية , bacaan Qiraat harus sesuai dengan kaidah Bahasa Arab yang fasih.

Adapun jika ada qiraat yang tidak memenuhi satu dari persyaratan di atas, maka qira’at itu dinamakan qira’at yang lemah, syadz atau bathil.

Otomatis qiraat itu tidak bisa digunakan atau diamalkan.

Berdasarkan syarat di atas, maka para ulama pun membagi qira’at kepada 6 macam tingkatan, yaitu sebagai berikut:

1. Qiraat Mutawatir

Qiraat المتواتر yaitu Qira’at yang dinukil oleh sejumlah besar periwayat yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta.

2. Qiraat Masyhur

Qiraat المشهور adalah Qira’at yang shahih sanadnya tetapi tidak mencapai derajat mutawatir dan sesuai dengan kaidah Bahasa Arab juga rasm Utsmani.

3. Qiraat Ahad

Qiraat الآحد adalah Qira’at yang shahih sanadnya tetapi menyalahi rasm Utsmani ataupun kaidan Bahasa Arab (qira’at ini tidak termasuk qira’at yang diamalkan).

4. Qiraat Syadz

Qiraat الشاذ adalah Qira’at yang tidak shahih sanadnya, seperti qira’at مَلَكَ يَوْمَ الدِّيْنِ , versi lain qira’at yang terdapat dalam firman Allah, berikut: مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ (الفاتحة:4)

5. Qiraat Maudhu

Qiraat الموضوع adalah Qira’at yang tidak ada asalnya.

6. Qiraat Mudraj

Qiraat المدرج adalah Qira’at yang berfungsi sebagai tafsir atau penjelas terhadap suatu ayat al-Qur’an.

Pembagian Macam-macam Qira’at

Yang dimaksud dengan macam-macam qira’at disini yaitu ragam qira’at yang dapat diterima sebagai qira’at al-Qur’an. Dan hal ini banyak menyangkut qira’at sab’ah dan qira’at syazzat.

1. Qira’at Sab’ah

Sab'ah berarti tujuh, dimana arti Qiraah Sab'ah sendiri adalah tujuh versi qira’at yang disandarkan kepada para imam qira’at yang berjumlah tujuh orang, yaitu: Ibn Amir, Ibn Katsir, Ashm, Abu Amr, Hamzah, Nafi dan al-Kisai.

Qira’at ini dikenal di dunia Islam pada akhir abad ke-2 hijrah, dan di bukukan pada akhir abad ke-3 hijrah di Baghdad, oleh seorang ahli qira’at bernama Ibn Mujahid Ahmad Ibn Musa Ibn Abbas.

Contoh qira’at sab’ah yang tidak mempengaruhi makna, adalah: وَقُوْلُوْا لِلنَّاسِ حُسْنًا {البقرة : 83} Ibn Katsir, Abu Amr, Nafi, Ashm dan Ibn Amir membaca حُسْبًا , sementara Hamzah dan al-Kisai membaca حَسَنًا .
Contoh qira’at sab’ah yang mempengaruhi makna, adalah: وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ {الأنعام : 132 } Ibn Amir membaca تَعْمَلُوْنَ , sementara yang lainnya membaca يَعْمَلُوْنَ .

2. Qira’at Syazzat

Yaitu qira’at yang sanadnya shahih, sesuai dengan kaidah Bahasa Arab, akan tetapi menyalahi rasm Ustmani. Dengan demikian qira’at ini dapat diterima eksistensinya, akan tetapi para ulama sepakat tidak mengakui kegunaannya, dengan kata lain qira’at ini dimaksudkan sebagai penjelasan terhadap qira’at yang terkenal diakui kegunaannya.
Beberapa contoh qira’at syazzat:
• Qira’at Aisyah dan Hafsah
• Qira’at Ibn Mas’ud
• Qira’at Ubay Ibn Ka’ab
• Qira’at Sa’ad Ibn Abi Waqash
• Qira’at Ibn Abbas
• Qira’at Jabir

Manfaat Mempelajari Qira’at

Dengan bervariasinya qira’at, maka banyak sekali manfaat atau faedahnya, diantaranya:

1. Menunjukkan betapa terpelihara dan terjaganya kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan.

2. Meringankan umat Islam dan memudahkan mereka untuk membaca al-Qur’an

3. Bukti kemukjizatan al-Qur’an dari segi kepadatan makna, karena setiap qira’at menunjukkan sesuatu hukum syara tertentu tanpa perlu pengulangan lafadz.

4. Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global dalam qira’at lain.

5. Memperbesar pahala.

Pengaruh Perbedaan Qira’at Terhadap Pengambilan Hukum

Sebelum masuk kepada pengaruh perbedaan qira’at terhadap istinbat hukum, kata istinbat ( إستنباط ) adalah Bahasa Arab yang akar katanya al-nabth ( النبط ) artinya air yang pertama kali keluar atau tampak pada saat seseorang menggali sumur.

Adapun istinbat menurut bahasa berarti: “Mengeluarkan air dari mata air (dalam tanah)”, karena itu, secara umum kata istinbat dipergunakan dalam arti istikhraj ( استخراج ), mengeluarkan.

Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud istinbat yaitu:
إستخراج المعانى من النصوص بفرط الذهب وقوة الفريحة
“Mengeluarkan kandungan hukum dari nash-nash yang ada (al-Qur’an dan al-Sunnah), dengan ketajaman nalar serta kemampuan yang optimal.”

Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa, esensi istinbat yaitu: Upaya melahirkan ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat baik dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah.

Mengenai obyek atau sasarannya yaitu dalil-dalil syar’i baik berupa nash maupun bukan nash, namun hal ini masih berpedoman pada nash.

Adapun perbedaan qira’at al-Qur’an yang khusus menyangkut ayat-ayat hukum dan berpengaruh terhadap istinbat hukum, dapat dikemukakan dalam contoh berikut:

Firman Allah S‎WT:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلاَةِ قَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ
اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْابِرُءُ وْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِ { المائدة : 6 }

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai kedua mata kaki.” (QS. al-Maidah/5: 6)
Ayat ini menjelaskan, bahwa seseorang yang mau mendirikan shalat, diwajibkan berwudhu. Adapun caranya seperti yang disebutkan dalam firman Allah di atas. Sementara itu, para ulama berbeda pendapat tentang apakah dalam berwudhu, kedua kaki ( وارجلكم ) wajib dicuci ataukah hanya wajib diusap dengan air.

Hal ini dikarenakan adanya dua versi qira’at yang menyangkut hal ini. Ibn Katsir, Hamzah dan Abu Amr membaca وَاَرْجُلِكُمْ . Nafi, Ibn Amir dan al-Kisai membaca وَاَرْجُلَكُمْ Sementara Ashm riwayat Syu’bah membaca وَاَرْجُلِكُمْ , sedangkan Ashm riwayat Hafsah membaca وَاَرْجُلَكُمْ .

Qira’at وَاَرْجُلَكُمْ menurut dzahirnya menunjukkan bahwa kedua kaki wajib dicuci, yang dalam hal ini ma’thuf kepada قَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ . Sementara qira’at وَاَرْجُلِكُمْ menurut dzahirnya menunjukkan bahwa kedua kaki hanya wajib diusap dengan air, yang dalam hal ini ma’thuf kepada وَامْسَحُوْابِرُءُ وْسِكُمْ .

Jumhur ulama cenderung memilih qira’at وَاَرْجُلَكُم , mereka memberikan argumentasi sebagai berikut:

a. Menunjukkan betapa terpelihara dan terjaganya kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan.

b. Dalam ayat tersebut Allah membatasi kaki sampai mata kaki, sebagaimana halnya membatasi tangan sampai dengan siku. Hal ini menunjukkan bahwa dalam berwudhu, kedua kaki wajib dicuci sebagaimana diwajibkannya mencuci kedua tangan.

Selain itu jumhur berupaya menta’wilkan qira’at وَاَرْجُلِكُمْ sebagai berikut:

a. Qira’at وَاَرْجُلِكُمْ kedudukannya ma’thuf kepada kata وَاَيْدِيَكُمْ , akan tetapi kata وَاَرْجُلِكُمْ dibaca majrur disebabkan karena berdekatan dengan رُءُ وْسِكُمْ yang juga majrur.

b. Lafadz اَرْجُلِكُمْ dalam ayat tersebut dibaca majrur, semata-mata karena ma’thuf kepada lafadz وَاَرْجُلِكُمْ yang majrur. Akan tetapi ma’thufnya hanya dari segi lafadz bukan dari segi makna.

Sementara itu, sebagian ulama dari kalanga Syi’ah Immamiyyah cenderung memilih qira’at وَاَرْجُلِكُمْ .

Sedangkan ulama azh-Zhahir berpendapat bahwa dalam berwudhu diwajibkan menggabungkan antara mengusap dan mencuci dua kaki, dengan alasan mengamalkan ketentuan hukum yang tedapat dalam dua versi qira’at tersebut. Menurut Ibn Jabir ath-Thabari berpendapat bahwa seseorang yang berwudhu, boleh memilih antara mencuci kaki dan mengusapnya (dengan air).

Dari uraian di atas tampak jelas, bahwa perbedaan qira’at dapat menimbulkan perbedaan istinbat hukum.

Qira’at وارجلكم dipahami oleh jumhur ulama dengan menghasilkan ketentuan hukum, bahwa dalam berwudhu diwajibkan mencuci kedua kaki, sementara qira’at وَاَرْجُلِكُمْ dipahami oleh sebagian ulama dengan menghasilkan ketentuan hukum bahwa dalam berwudhu tidak diwajibkan mencuci kedua kaki, akan tetapi diwajibkan mengusapnya.

Sementara ulama lainnya membolehkan untuk memilih salah satu dari kedua ketentuan hukum tersebut. Dan ada pula yang mewajibkan untuk menggabungkan kedua ketentuan hukum tersebut.